Nilai Pokok Pendidikan di Kolese Le Cocq d’Armandville

Tujuan pendidikan Yesuit

Tujuan utama dari pendidikan Yesuit adalah mengejar perkembangan intelektual murid sampai kepenuhannya sesuai dengan talenta-talenta yang diberikan Allah. Namun, tujuan ini tidak pernah hanya berarti mengumpulkan infomasi atau mempersiapkan diri untuk profesi tertentu, meskipun ini semua penting dan berguna untuk memunculkan pemimpin-pemimpin kristiani. Tujuan tertinggi dari pendidikan Yesuit adalah, kepenuhan perkembangan pribadi yang terarah pada aksi- aksi yang dijiwai oleh kehadiran Yesus Kristus, Putra Allah, Manusia bagi sesamanya (Man for Others).

Maka, profil lulusan dari siswa-siswi sekolah Yesuit adalah seseorang yang berwawasan luas, kompeten secara intelektual, terbuka pada perkembangan, religius, memiliki kasih, dan berkomitmen untuk menjalankan keadilan. Profil ini dirangkum dalam 4 nilai pokok: Competence, Conscience, Compassion dan Commitment (4 C).

Competence (Pribadi yang Kompeten)

Memiliki kemampuan akademik yang unggul dan menjadi orang yang dapat diandalkan. Pribadi yang mau terus belajar. Tidak dapat disangkal bahwa tujuan dari pendidikan adalah mengupayakan perkembangan intelektual secara maksimal dengan upaya belajar terus menerus. Oleh karena itu upaya untuk mengejar keunggulan dalam bidang akademik menjadi salah satu fokus di dalam proses pendidikan. Namun, keunggulan akademik tidak pernah berhenti hanya pada penguasaan informasi sebanyak-banyaknya, melainkan juga pencarian akan informasi yang benar. Pencarian kebenaran itu diperoleh lewat kedalaman dan kemampuan berfikir secara kritis terhadap informasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Pater Adolfo Nicolas, SJ: “Saya tidak pernah ragu bahwa universitas (red. sekolah) kita memiliki karakter untuk selalu mengejar keunggulan dalam belajar, mengajar dan penelitiannya. Saya hendak menaruh ini dalam konteks tradisi Ignasian yaitu “kedalaman berfikir dan berimaginasi” (depth of thought and imagination).

Conscience (Pribadi yang Berhatinurani)

Dalam pencarian ilmu pengetahuan, sekolah Yesuit selain dituntut untuk serius dan mendalam, ia juga dituntut untuk mengakar dalam iman dan terbuka pada dialog dengan semua orang yang memiliki kehendak baik. Sekolah-sekolah Yesuit tidak hanya diminta untuk taat pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, tetapi juga akhirnya merangkul kenyataan hidup manusia demi menciptakan dunia yang semakin layak bagi kehidupan milyaran manusia yang mendiaminya. Maka, penanaman moral dan pembinaan hati nurani menjadi bagian penting dalam pendidikan di sekolah Yesuit. Para siswa sekolah Yesuit diharapkan bisa memilah dan menimbang hal yang benar dan keliru dalam bertindak atau menjadi pribadi yang memiliki hati nurani yang benar. Hati nurani adalah kemampuan internal untuk menilai setiap tindakan berdasarkan kriteria moral baik dan buruk. Pribadi yang hati nuraninya terasah, ia akan hidup dalam kompas nilai-nilai yang baik. Siswa juga diharapkan menjadi pribadi yang mengenal dirinya sendiri dan memiliki kepekaan untuk membaca situasi yang ada berdasarkan kriteria-kriteria moral yang ada di dalam dirinya. Salah satu pembinaan yang dibuat sekolah Yesuit adalah dengan mengadakan eksamen (examen conscientiae / pemeriksaan kesadaran). Eksamen menjadi instrumen pokok pembinaan hati nurani, karena di dalamnya orang diajak untuk menyadari gerak-gerak kehendak yang muncul dalam dirinya setiap saat, baik itu kehendak yang mengarah pada kebaikan atau sebaliknya pada yang jahat.

Compassion (Pribadi yang Berbelarasa)

Kepedulian dan bela rasa terutama terhadap mereka yang lemah, tersingkir, miskin dan tidak berdaya di dalam masyarakat menjadi perhatian utama pendidikan Yesuit. Pater Arrupe pernah mengungkapkan dalam kongres alumni sekolah Yesuit di Eropa tahun 1973 tentang pentingnya “diakonia fidei” (pelayanan iman) dalam pendidikan Yesuit: “Saat ini tujuan utama pendidikan kita haruslah untuk membentuk manusia-manusia bagi sesamanya (men for others); manusia-manusia yang hidup tidak untuk dirinya sendiri tetapi untuk Tuhan dan Kristus – Allah-Manusia yang hidup dan wafat bagi seluruh dunia; manusia yang yakin bahwa cinta pada Allah tidak dapat tidak harus disertai dengan cinta pada mereka yang kecil; manusia yang sepenuhnya yakin bahwa cinta pada Allah yang abai pada persoalan keadilan hanyalah lelucon.” Oleh karenanya, sekolah Yesuit harus memiliki standar pendidikan yaitu untuk membentuk manusia utuh yang bersolider pada dunia masa kini. Dan solidaritas atau bela rasa ini hanya terwujud melalui perjumpaan, bukan hanya melalui konsep. (Kolvenbach, 2000)

Commitment (Pribadi yang Berkomitmen)

Masih terkait dengan bela rasa, bahwa bela rasa harus diwujudkan dalam sebuah tindakan nyata, bukan melulu konsep belaka, maka membantu menciptakan keadilan di dalam masyarakat dan mengupayakan pemeliharaan alam dan lingkungan hidup secara nyata menjadi tuntutan yang tak terhindarkan. Usaha-usaha ini membutuhkan sebuah komitmen. Mempromosikan keadilan adalah unsur yang paling mendasar. Ini adalah misi yang berakar dalam keyakinan akan suatu komunitas dunia baru yang bersifat adil, penuh cinta kasih, dan damai. Untuk ini dibutuhkan pendidikan orang-orang yang kompeten, berhati nurani yang benar dan berbelarasa, pria dan wanita yang berkomitmen untuk bekerja bagi kebebasan dan martabat semua orang, yang berkehendak untuk melaksanakannya dalam kolaborasi dengan orang-orang lain yang berdedikasi untuk mengadakan pembaruan masyarakat dan struktur-strukturnya. Pendidikan dalam iman dan bagi keadilan dimulai dengan mengormati kebebasan, hak, dan kemampuan individu maupun komunitas untuk menciptakan perubahan hidup bagi diri mereka. Ini berarti bahwa pendidikan Yesuit berusaha mendampingi orang muda untuk masuk ke dalam pengorbanan diri dan kegembiraan berbagi hidup dengan orang lain. Ini berarti menemani mereka untuk memahami dan menghargai bahwa orang lain adalah harta mereka yang paling berharga. Ini berarti berjalan bersama. Ini berarti berjalan bersama mereka dalam pengembaraan menuju pengetahuan, kebebasan dan cinta yang lebih besar. Ini adalah bagian yang paling pokok dalam evangelisasi baru sebagaimana Gereja memanggil kita.

CARA BERTINDAK BERSAMA DI KOLESE LE COCQ D’ARMANDVILLE

3 PRINSIP 1 TUNTUTAN

Prinsip 1: Satu bicara yang lain mendengarkan

Pendidikan kolese menjunjung tinggi kebebasan berpendapat namun perlu dilaksanakan dengan cara-cara yang tepat. Kemampuan yang perlu dimiliki bukan hanya kemampuan berbicara atau menyampaikan gagasan, melainkan juga kemampuan untuk mendengarkan orang lain yang berbicara dan memperhatikan pendapat orang lain. Adanya prinsip ini pun memungkinkan komunikasi berjalan dengan baik, karena pembicaraan berjalan teratur dan terarah demi sebuah tujuan bersama yaitu bahwa semua pihak yang berkomunikasi dapat saling memahami dan bersepakat.

Prinsip 2: Tidak membiarkan ketidakberesan terjadi

Sikap individu yang paling menghancurkan dalam hidup bersama seringkali bukanlah sikap suka membuat kekacauan atau kerusakan (destruktif), melainkan sikap tidak peduli (ignorance) terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, terutama terhadap persoalan yang membuat hidup bersama tidak nyaman. Orang tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam hidup bersama, orang juga tahu penyebabnya, namun orang enggan untuk ikut terlibat dan bertanggung jawab. Akhirnya, orang menganggap ketidakberesan sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dibereskan. Maka, pendidikan kolese yang menekankan pendidikan kesadaran dan hati nurani tidak boleh membiarkan sikap tidak peduli ini menjangkit di dalam kehidupan bersama di sekolah. Contoh sederhana, misalnya ketika melihat sampah berserakan di kelas. Tidak perlu saling tunggu siapa yang bertugas membersihkan (piket). Saya yang melihat ketidakberesan itu harus segera membereskannya karena saya peduli dan bertanggungjawab pula pada lingkungan tempat saya berada.

Prinsip 3: Kejujuran dan keterbukaan selalu diutamakan

Kejujuran dan keterbukaan adalah kualitas manusiawi yang semakin sulit untuk ditemui saat ini. Demi keuntungan pribadi yang sifatnya sementara, seringkali orang tergoda untuk menggadaikan kebaikan dan kebenaran dengan sikap tidak jujur dan tidak transparan. Ketidakjujuran dapat merusak kepercayaan orang lain terhadap kita, tetapi lebih daripada itu kejujuran dapat menghancurkan diri sendiri karena orang tidak lagi percaya pada kemampuan dirinya sendiri dan lebih percaya pada hasil karya orang lain yang dianggap lebih baik. Bagi pendidikan di kolese, khususnya SMA Adhi Luhur, Kolese Le Cocq d’Armandville kejujuran menjadi nilai yang tidak bisa lagi ditawar dengan apapun, khususnya kejujuran dalam proses pendidikan.

Prilaku ketidakjujuran akademis (academic dishonest) secara praktis dalam konteks pendidikan antara lain:

  • Plagiarisme (plagiarism): sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan narasumbernya.
  • Plagiarisme karya sendiri (selfplagiarism): menyerahkan atau mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa izini atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan.
  • Manipulasi (fabrication): pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun
  • Pengelabuhan (deceiving): memberi informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya.
  • Menyontek (cheating): berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru.
  • Sabotase (sabotage): tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi, dll., atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain.[1]

Tentu saja prinsip keterbukaan dan kejujuran ini tidak terbatas pada bidang akademik saja. Prinsip ini juga dibutuhkan dalam berbagai macam bidang kehidupan. Mengakui kesalahan yang telah dibuat juga merupakan perwujudan sikap jujur dan terbuka yang mendewasakan seseorang. Karena orang yang mengakui dan mau belajar dari kesalahan adalah orang yang siap bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

Tututan: Disiplin

Prinsip-prinsip hidup bersama yang sudah dijabarkan di atas tidak akan pernah sungguh akan terlaksana jika seseorang tidak mau mendisiplinkan dirinya. Kedisiplinan tidak pernah merupakan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dorongan kehendak yang datang dari dalam, yang muncul dari sebuah kesadaran bahwa untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan, diri harus dikendalikan dan diarahkan. Salah satu musuh dari kedisiplinan adalah kemalasan. Kemalasan memang membuat kita mendapatkan kenikmatan secara instan, tapi kenikmatan itu hanya akan bertahan sebentar saja. Yang akan terjadi selanjutnya adalah sebuah penyesalan, karena hilangnya kesempatan dan datangnya penderitaan karena tidak siap menghadapi tantangan dan kesulitan di depan. Pendidikan adalah salah satu upaya mendisiplinkan diri, sebuah persiapan untuk menyongsong masa depan yang gemilang. Mendisiplinkan diri tidak pernah mudah, tetapi seperti perhiasan emas murni yang didapat melaui proses dibakar dan ditempa, maka demikian juga untuk menghasilkan pribadi yang berkualitas, membutuhkan kemauan untuk menempa diri dalam kedisiplinan.


[1] Dikutip dari Buku Siswa SMA Kolese Gonzaga, 2020, hlm. 28-29.