Masa Kecil
Le Cocq d’Armandville lahir di kota Delf, Belanda pada 29 Maret 1846. Ia diberi nama Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville yang berarti Si Jago dari Armandville. Dalam Bahasa Prancis nama itu berarti bagaikan tiupan sangkakala. Cornelis adalah keturunan Prancis. Ketika revolusi Prancis meletus pada 1789-1804, kakek-neneknya terpaksa mengungsi ke Belanda.
Ayah Cornelis adalah seorang perwira di kota Delf. Ia bertugas di Terneuzen, kota kecil dekat perbatasan Belgia. Ayahnya kemudian dipindahtugaskan ke Maastricht. Di sini Cornelis disekolahkan di Sekolah Dasar Katolik. Sekolah ini diasuh oleh para bruder Onbevlekte Ontvangens van Maria (O.O.) yang dalam bahasa Latin disebut bruder Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC). Di sekolah ini Cornelis belum bisa membuang sifatnya yang lamban, sampai ia ditegur oleh bapaknya: “Cornelis, waktu itu berharga.” Namun, Cornelis juga dikenal sebagai anak yang ramah, berpenampilan sopan dan suka membantu.
Menjelang kelulusan Sekolah Dasar, orangtua Cornelis berencana menyekolahkannya di sekolah milik Jesuit. Cornelis harus pergi ke Gymnasium Jesuit Katwijk yang letaknya di pantai laut utara, karena sekolah Jesuit belum ada di Maastricht. Sekalipun berat bagi Cornelis berpisah dengan orangtuanya, namun ia tetap membina hubungan baik melalui surat.
Di Gymnasium Katwijk, Cornelis senang bertanya tentang kehidupan santo dan santa. Mendengar kisah Fransiskus Xaverius yang melakukan misi ke Asia, termasuk Maluku, hati Cornelis selalu bersemangat. Cerita-cerita tentang pater yang melakukan misi ke Asia juga semakin membuat semangatnya berkobar-kobar. Sayangnya, Cornelis tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Gymnasium Katwijk karena sering sakit. Cornelis akhirnya pindah ke Gymnasium Saint Louis di Sittard. Ia paling menonjol dalam pelajaran Bahasa Latin dan Belanda, Aljabar, dan Sejarah. Pada 1865 ia lulus. Ia kemudian pulang ke rumah dan menyampaikan keinginannya untuk menjadi seorang Jesuit.
Masa Pendidikan di Serikat Yesus
Pada 26 September 1865, Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville berangkat ke wisma Mariendal, tempat ia akan menempuh pendidikan awal (novisiat) sebagai calon anggota Serikat Yesus. Pada 27 September 1967, setelah menjalani 2 tahun masa novisiat, frater Le Cocq mengucapkan kaul pertamanya. Satu tahun berikutnya ia menjalani masa Yuniorat.
Pada Oktober 1868, frater Le Cocq berangkat ke Paris untuk belajar Filsafat. Ia belajar cukup keras sampai sering sakit. Pada 1870, ketika terjadi perang besar antara Prancis dan Jerman, frater Le Cocq diminta menggantikan seorang bruder untuk merawat beberapa pater dan frater yang sakit. Sambil merawat orang sakit ia juga tetap mengikuti kuliah dan membaca buku-buku filsafat. Pada Januari 1871 Prancis mengalami kekalahan. Kolese Saint Michael, tempat Le Cocq belajar dijadikan rumah sakit. Frater Le Cocq kembali berkarya sebagai perawat dan apoteker. Ia harus belajar keras menghadapi ujian filsafat sambil tetap merawat para pasien. frater Le Cocq dikenal teman-teman dan saudara sekomunitasnya sebagai seorang pekerja keras sekaligus baik hati.
Setelah menyelesaikan pendidikan Filsafat, frater Le Cocq menjalani Tahun Orientasi Kerasulan (TOK) di Kolese Katwijk. Di sana ia mengajar Bahasa Prancis dan ilmu alam. Suatu ketika ada peristiwa penting terjadi. Kolese kedatangan tamu bernama pater Palinckx. Pater Palinckx termasuk kelompok Jesuit pertama yang diutus ke Hindia Belanda. Ia berkarya di Yogyakarta, Kedu dan Banyumas. Cerita pater Palinckx tentang kesultanan Yogyakarta membuat hati frater Le Cocq berkobar-kobar.
Setelah dua tahun mengajar di Kolese Katwijk, frater Le Cocq ditugaskan belajar Teologi di kota Maastricht. Pada 8 September 1876, frater Le Cocq ditahbiskan menjadi imam.
Setelah menyelesaikan studi teologi, pater Le Cocq menjalani masa Tersiat di Drogen, Belgia. Ketika masa Tersiatnya selesai, pada 1978, ia menyampaikan berita pada kedua orangtuanya bahwa ia akan ditugaskan sebagai misionaris di Hindia Belanda. Keluarganya sangat mendukung perutusan pater Le Cocq sehingga membuat ia semakin mantap menyambut tugas barunya itu.
Bekerja di Tanah Misi
Pada 20 Desember 1878, pater Le Cocq bersama satu misionaris lain, pater Kolfschoten, berangkat menuju Hindia Belanda dengan kapal Torrington. Akhir Januari 1879, kapal tersebut sampai di Batavia. Pater Le Cocq dan pater Kolfschoten disambut di pastoran Lapangan Banteng. Setelah singgah di Batavia, pater Le Cocq melanjutkan perjalanan menuju Semarang dan Surabaya.
Pada Maret 1879, pater Le Cocq mendapat tugas sebagai pastor rekan di Semarang. Di sana ia mengenal dan melayani umat dengan gembira. Tak hanya mengenal dan melayani umat Katolik, pater Le Cocq juga dekat dengan umat dari agama lain. Ia melayani umat di Semarang dengan ramah dan penuh cinta kasih. Sampai pada April 1881, pater Le Cocq mendapat perutusan baru di Maumere.
Pada 28 April 1881, pater Le Cocq mendarat di Larantuka dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Maumere pada 18 Mei 1881. Di Maumere, pater Le Cocq melayani umat sampai pelosok-pelosok, bahkan sampai Sikka. Bersama Bruder Amatus Van Velde, pater Le Cocq mendirikan sekolah dengan asrama. Sementara Bruder mengajar cara membaca, menulis dan menghitung, pater Le Cocq mengajar Agama. Pendidikan ini cukup berhasil membantu anak untuk belajar, tetapi tidak sedikit pula anak yang lari dari asrama dan tidak melanjutkan belajar lagi. Pater Le Cocq sangat gigih dalam bekerja, sehingga ia sering jatuh sakit. Tubuhnya semakin kurus, bahkan sampai harus berobat ke Surabaya. Namun, setelah pulih, ia tetap dengan semangat kembali untuk melanjutkan karya pelayanannya.
Pada 1891 pimpinan Serikat Yesus mencari misionaris untuk diutus ke Maluku. Pater Le Cocq dilihatnya sebagai misionaris yang handal, maka ia dikirim oleh pimpinan Serikat Yesus ke Maluku. Tempat tugas pater Le Cocq yang baru adalah pulau Seram, di Ambon. Pulau Seram adalah pulau kecil dengan penduduk yang sedikit. Melihat hal ini, pater Le Cocq berusaha mencari tempat yang berpenduduk padat agar ia dapat menyebarkan kabar gembira dengan lebih baik. Maka, ia kemudian berkarya di pulau Watubela, Kasewu, Geser, dan pulau-pulau kecil lainnya.
Di pulau Geser, Pater Le Cocq sudah mendengar tentang pulau Papua. Pada 22 Mei 1894, untuk pertama kalinya, pater Le Cocq menginjakkan kaki di pulau Papua. Kapalnya mendarat di kampung Sekeru, di semenanjung Fakfak. Pater Le Cocq mulai mengenal orang-orang di sekitarnya. Ia naik turun bukit untuk bertemu orang-orang yang tinggal di situ. Ia mulai menulis satu dua kata dalam bahasa lokal supaya bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat. Hari pertama saia ia sudah membaptis 8 anak menjadi Katolik. Sembilan hari kemudian ia membaptis 65 anak lagi. Selanjutnya, melalui pembicaraan dengan pater Hellings, pater Le Cocq memutuskan untuk menetap di pantai Papua dan dari sana sewaktu-waktu melayani umat di pulau Seram, Bomfia.
Pada April 1895 pater Le Cocq, ditemani bruder Zinken dan bruder Boekhorst, memulai misi di Papua. Dalam perjalanan pater Le Cocq meminta kepada pengemudi kapal untuk menurunkannya di dekat Kapaur daerah Fak-fak yang kira-kira lebih banyak penduduknya dibanding Sekeru. Perjalanan ternyata sangat melelahkan. Pater Le Cocq jatuh sakit. Setibanya di daratan, kedua bruder dibantu beberapa penduduk berusaha menata papan sebagai gubuk sementara. Pater Le Cocq dibaringkan di papan seadanya.
Setelah beberapa hari tinggal di pinggir pantai itu, mereka mendirikan pastoran yang berlokasi 150 meter dari Pantai Besar. Dengan berdirinya pastoran, mereka memulai karya keselamatan di tanah Papua. Pater Le Cocq membaptis 86 anak. Ia tekun mengajar dan mengobati orang-orang sakit. Sekalipun sudah memasuki usia 50tahun, ia tetap bertekad belajar bahasa daerah.
Pada akhir tahun, stasi Kapaur kedatangan tamu istimewa. Pater Julius Keijzer, Superior Misi Serikat Yesus di Hindia Belanda mengunjungi Kapaur. Dalam kunjungan itu pater Le Cocq meminta ijin kepada pater Superior untuk mengadakan pelayaran yang sudah direncanakannya. Pater Le Cocq bermaksud menyelidiki keadaan rantau di pantai arah sebelah timur sampai titik 138 atau 139 derajat. Pater Le Cocq ingin menemukan tempat yang lebih padat dan iklimnya bagus bagi karya penyebaran Injil. Pater Superior akhirnya terpaksa mengijinkan perjalanan itu dengan syarat bahwa setelah selesai, pater Le Cocq akan segera kembali ke Jawa.
Pada Maret 1896, pater Le Cocq berbicara pada bruder Zinken tentang rencana keberangkatannya. Bruder Zinken yang mengenal kondisi kesehatan pater Le Cocq merasa cemas. Ia memberi nasihat untuk tidak mengadakan perjalanan di bulan Maret dan Agustus mengingat di bulan-bulan itu ombak sangat ganas. Namun, pater Le Cocq bersikeras dan bahkan mengatakan bahwa kematiannya tidak akan di tempat tidur, melainkan di laut lepas.
Kapal Al Bahanasa yang disewa pater Le Cocq akhirnya datang. Pada 5 Maret 1896 kapal itu berangkat dari pulau Bone, Kapaur. Pada pertengahan Mei mereka tiba di pantai Mimika yang terletak di bujur timur 135 derajat 45 menit. Pater Le Cocq, seorang pedagang dan seorang penerjemah dari Seram turun dari kapal. Karena ombak yang besar, kapal mendarat di tengah laut, sementara mereka menaiki sekoci untuk sampai di bibir pantai. Pater Le Cocq tinggal di pantai kira-kira 13 hari. Ia mengobati orang-orang di sana dan mulai mengajar dengan bantuan penerjemah.
Tiba waktunya Pieter Salomon, kapten kapal Al Bahanasa, menyampaikan pesan bahwa ia akan segera kembali. Pada 26 Mei 1896 barang-barang pater Le Cocq sudah mulai dimasukkan ke dalam kapal. Keesokan harinya, pater Le Cocq yang sudah berada di atas kapal kembali ke darat untuk melunasi barang dan menjemput anak-anak yang akan dibawa ke Kapaur. Setelah semua urusan selesai, sore menjelang petang pater Le Cocq berpamitan pada orang-orang di pantai hendak kembali ke kapal. Ombak sudah semakin besar, sekoci yang dinaiki pater Le Cocq berusaha menembus ombak yang ganas, sampai akhirnya mengehempaskan sekoci itu bersama seluruh penumpang di dalamnya. Masih ada yang melihat pater Le Cocq berusaha menepi bersama seorang anak dipelukannya, namun ketika di darat hanya tinggal anak itu seorang diri. Pater Le Cocq sendiri hilang. Beberapa pendayung mencoba mencari jenazah pater Le Cocq di lautan, namun tidak pernah menemukannya.
Kapal Al Bahanasa harus tetap melanjutkan perjalanan ke Kapaur. Sesampainya di sana, kapten kapal, Pieter Salomon, menyampaikan kabar duka pada bruder Zinken bahwa Pater Le Cocq d’Armandville tewas ditelan ombak dan jazadnya tidak ditemukan.
Kematian pater Le Cocq d’Armandville, Sang Misionaris yang berkemauan keras dan berdaya tahan walau harus menanggung sakit dan kesendirian demi pelayanan kepada umat dan Tuhan, akhirnya menjadi inspirasi bertumbuhnya karya misi Katolik di Papua.